MEMAHAMI SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
RINGKASAN MATERI
A. AL-QUR’AN
- Pengertian Al-Qur’an
Menurut
bahasa, Al-Qur’an berasal dari kata dasar Qara-Yaqra’u, Qira’atan-Wa
qur’anan, yang artinya bacaan. Sedangkan meurut istilah, Al-Qur’an
adalah firman Allah swt. Yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam
mushaf-mushaf dan disampaikan kepada manusia secara mutawatir yang
diperintahkan untuk mempelajarinya. Al-Qur’an tediri dari 114 surat dan
30 juz.
Ada dua cara turun Al Qur’an, pertama secara mujmal (30 juz sekaligus)
yaitu diturunkannya Al Qur’an dari ‘Arsy ke Lauh Mahfudh, kedua secara
bertahap (Tadriij) sesuai dengan peristiwa / masalah yang dihadapi Nabi
yaitu dari Lauh Mahfudh ke dunia yang disampaikan oleh Malaikat Jibril.
- Kedudukan Al-Qur’an
Sebagai
kitab suci, Al-Qur’an merupakan pedoman hidup kaum muslimin. Sebab di
dalamnya terkandung aturan da kaidah-kaidah kehidupan yang harus
dijalankan oleh umat manusia. Allah swt. Menetapkan Al-Qur’an sebagai
sumber pertama dan utama bagi hukum Islam. Sebagaimana firman-Nya :
إِنَّآ أَنْزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ أَرٰـكَ اللهُ ۚ وَلاَتَكُنْ لِّلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا(105)
Artinya
: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab )Al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad), membawa kebenaran agar engkau mengadili antara manusia
dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau
menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang bekhianat. (QS. An Nisa’ : 105).”
- Fungsi Al-Qur’an
a. Sebagai pedoman hidup manusia
b. Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa
c. Sebagai mukjizat atas kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.
d. Sebagai sumber hidayah dan syari’ah
e. Sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil
B. AL HADITS
- Pengertian Hadits
Menurut
bahasa, hadits artinya baru, dekat dan berita. Sedangkan menurut
istilah, hadits adalah perkataan (qaul), perbuatan (fi’il) dan ketetapan
(taqrir) Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum. Hadits disebut
juga Sunnah, yang menurut bahasa artinya jalan yang terpuji atau cara
yang dibiasakan. Menurut istilah, sunnah sama dengan pengertian hadits,
yaitu segala ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. yang
harus diterima sebagai ketentuan hukum oleh kaum muslimin dan segala
yang bertentangan dengannya harus ditolak.
- Kedudukan Hadits
Sebagaimana
Al-Qur’an, hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Derajatnya
menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini merupakan ketentuan
Allah swt. Sebagaimana firman-Nya :
وَمَآ ءَاتٰكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا (٧)
Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7)”
- Fungsi Hadits
Sebagai
sumber hukum Islam yang kedua, Al-Hadits mempunyai beberapa fungsi yang
sangat penting bagi ditegakkannya hukum Islam, diantaranya sebagai
berikut :
a. Sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an/Bayan At Tauhid
b. Sebagai penjelas atas hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini tiga
fungsi yang diperankan Al Hadits adalah sebagai berikut :
- Menjelaskan dan merinci hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an secara global (ijmali).
- Memberi batasan atas hukum-hukum dalam Al-Qur’an yang belum jelas batasannya.
- Mengkhususkan hukum-hukum dalam AL-Qur’an yang masih bersifat umum.
c. Menetapkan hukum-hukum tambahan atas hukum-hukum yang belum terdapat di dalam Al-Qur’an.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Al Hadits sebagai sumber hukum Islam
yang kedua tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an. Barangsiapa yang
mengakui Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam dan mengingkari Hadits
sebagai sumber hukum Islam kedua, berarti ia termasuk golongan ingkar
Sunnah, golongan orang-orang yang sesat. Sebab, hakikatnya ia juga
mengingkari isi kandungan Al- Qur’an itu sendiri.
- Macam-macam Hadits
a. Hadits Qauliyah : Hadits yang didasarkan atas segenap perkataan dan ucapan Nabi Muhammad saw.
b. Hadits Fi’liyah : Hadits yang didasarkan atas segenap perilaku dan perbuatan Nabi Muhammad saw.
c. Hadits Taqririyah : hadits yang didasarkan pada persetujuan Nabi Muhammad saw. terhadap apa yang dilakukan sahabatnya.
Selain
itu dikenal hadits lain yang disebut Hadits Hammiyah yaitu hadits yang
berupa keinginan Rasulullah saw. yang belum terlaksana.
C. IJTIHAD
Al-Qur’an
dan hadits tidak akan berubah dan mengalami penambahan isi bersama
dengan berakhirnya wahyu, sementara permasalahan dan problematika
kehidupan senantiasa muncul sejalan dengan perkembangan peradaban
manusia. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Islam menggariskan
ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga.
- Pengertian
a. Menurut
arti bahasa Ijtihad berarti : memeras pikiran/berusaha dengan giat dan
sungguh-sungguh, mencurahkan tenaga maksimal atau berusaha dengan giat
dan sungguh-sungguh.
b. Menurut
istilah Ijtihad berarti : berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, baik dalam
Al-Qur’an maupun Hadits, dengan menggunakan akal pikiran serta
berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam
Al-Qur’an dan Hadits tersebut orang yang melakukan ijtihad disebut
Mujtahid.
Adapun
dasar keharusan ijtihad antara lain terdapat di dalam Al-Qur’an surat
An Nisa’ [4] : 59 dan sabda Rasulullah saw. kepada Abdullah bin Mas’ud :
Berhukumlah
engkau dengan Al-Qur’an dan As Sunnah apabila persoalan itu kau temukan
dua sumber tersebut, tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua
sumber tersebut maka berijtihadlah!.
- Syarat-syarat melakukan ijtihad
a. Mengetahui isi dan kandungan Al-Qur’an dan Al Hadits
b. Mengetahui seluk beluk bahasa Arab dengan segala kelengkapannya
c. Mengetahui ilmu ushul dan kaidah-kaidah fiqh secara mendalam
d. Mengetahui soal-soal Ijma’
Adapun
hal-hal yang bisa diijtihadkan adalah hal-hal yang di dalam Al-Qur’an
dan Al Hadits tidak diketemukan hukumnya secara pasti.
- Kedudukan dan Dalil Ijtihad
Ijtihad
sangat diperlukan dalam kehidupan umat Islam untuk mencari kepastian
hukum (Islam) terhadap berbagai persoalan yang muncul yang tidak
ditemukan sumber hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Selain itu, nas Al-Qur’an dan Al-Hadits sendiri juga mengharuskan kaum
muslimin yang memiliki kemampuan pengetahuan dan pikiran untuk
berijtihad. Perhatikan firman Allah swt. Berikut ini :
فَاعْتَبِرُواْيٰأُوْلِى اْلاَبْصٰرِ (٢)
Artinya : "Maka ambilah (kejadian) itu menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al Hasyr : 2)”
Juga hadits Rasulullah saw. yang dikutip oleh Ibnu Umar berikut :
اَنْتُمْ اَعْلَمُ بِاُمُوْرِدُنْيَاكُمْ ... (رواه المسلم)
Artinya : “Kamu lebih mengerti mengenai urusan kehidupan duniamu. (HR. Muslim)”
- Metode-metode Ijtihad
Ada
beberapa cara atau metode yang telah dirumuskan oleh para mujtahid
dalam melakukan ijtihad yang juga merupakan bentuk dari ijtihad itu
sendiri, antara lain adalah :
a. Ijma’
Menggunakan
bahasa Ijma’ berarti menghimpun, mengumpulkan dan menyatukan pendapat.
Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang hukum suatu
masalah yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b. Qiyas
Menurut
bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh yang lain, kemudian
menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah menentukan hukum suatu
maslaah yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
dengan cara menganalogikan suatu masalah dengan masalah yang lain karena
terdapat kesamaan ‘illat (alasan).
c. Istihsan
Menurut
bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang terbaik dari suatu
hal. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas yang jelas
(jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi), atau
meninggalkan hukum umum (universal/kulli) untuk menjalankan hukum khusus
(pengecualian/istitsna’), karena adanya alasan yang menurut
pertimbangan logika menguatkannya. Contoh: menurut istihsan sisa minuman
dari burung-burung yang buas seperti elang, gagak, rajawali dan
lain-lain itu tetap suci berbeda dengan sisa minuman dari
binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan lain-lain
yang haram dagingnya karena sisa makanan binatang-binatnag buas ini
mengikuti hukum dagingnya, maka sisa minumannya juga haram (najis).
Alasan kesucian dari sisa minuman burung-burung buas tadi : meskipun
haram dagingnya, karena burung-burung itu mengambil air minumnya dengan
paruh yang berupa tulang (dimanan hukum tulang itu sendiri suci) dan
tidak dimungkinkan air liur / ludah yang keluar dari perutnya
(dagingnya) itu bercampur dengan sisa minuman tadi. Sedangkan
binatang-binatang buas mengambil air minum dengan mulutnya yang sejenis
daging sehingga dimungkinkan sekali sisa minumannya bercampur dengan
ludahnya.
d. Masalihul Mursalah
Menurut
bahasa, Masalihul Mursalah berarti pertimbangan untuk mengambil
kebaikan. Menurut istilah, Masalihul Mursalah yaitu penetapan hukum yang
didasarkan atas kemaslahatan umum atau kepentingan bersama dimana hokum
pasti dari maslah tersebut tidak ditetapkan oleh oleh syar’I (al Qur’an
dan Hadits) dan tidak ada perintah memperhatikan atau mengabaikannya.
Contoh penggunaan masalihul mursalah kebijaksanaan yang diambil sahabat
Abu Bakar shiddiq mengenai pengumpulan al Qur’an dalam suatu mush-haf,
penggunaan ‘ijazah, surat-surat berharga dsb.
Dengan
perkembangan zaman yang terus semakin maju, muncul berbagai masalah
baru yang belum dijumpai ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Masalah-masalah baru tersebut membutuhkan ijtihad, sehingga
menjadi hukum bagi kaum muslimin. Hal ini menuntut kita semua untuk
selalu memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan kita, sehingga
kita mampu menjadi para mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad
dengan benar. Pintu ijtihad masih terbuka lebar bagi setiap umat muslim
yang memiliki syarat-syarat ijtihad. Islam sangat mendorong kaum
muslimin untuk melakukan ijtihad. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw.
dalam haditsnya yag diriwayatkan Mu’az bin Jabal :
Artinya : "Apabila
seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar,
maka ia mendapat dua pahala, dan apabila dia memutuskan dengan jalan
ijtihad kemudian keliru, maka dia memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari
Muslim).”
e. Istish-hab
Melanjutkan
berlakunya hokum yang telah ada dan telah diterapkan karena adanya
suatu dalil sampai datangnya dalil lain yang mengubah kedudukan hokum
tersebut. Misalnya apa yang diyakini ada, tidak akan hilang oleh adanya
keragu-raguan, contoh : orang yang telah berwudlu, lalu dia ragu-ragu
apakah sudah batal atau belum, maka yang dipakai adalah dia tetap dalam
keadaan wudlu dalam pengertian wudlunya tetap sah. Seperti itu juga
dalam hal menentukan suatu masalah yang hukum pokoknya mubah (boleh),
maka hukumnya tetap mubah sampai dating dalil yang mnegharuskan
meninggalkan hokum tersebut.
f. ‘Urf, yaitu
berlakunya adat / kebiasaan seseorang atau sekelompok orang /
masyarakat baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang bisa menjadi dasar
hukum dalam menetapkan suatu hukum, misalnya : kebiasaan jual beli
dengan serah terima barang dengan uang tanpa harus memerincikan dalam
kata-kata secara detail, peringatan mauled Nabi dsb.
g. Madhab Shahabi, yaitu
fatwa sahabat secara perorangan, kesepakatan seluruh sahabat atau
sahabat lainya (ijma’ sahabat), contoh Ijtihad sahabat Umar secara
pribadi/perorangan.
h. Syar’u man qablana, yaitu
berlakunya hukum-hukum syari’at pada umat yang telah diajarkan oleh
para Nabi dan Rasul Allah terdahulu sebelum adanya syari’at nabi
Muhammad SAW. Contoh ; berlakunya syari’at Nabi Dawud, Nabi Musa dan
Nabi-Nabi lainnya yang disebutkan dalam Al Qur’an.
i. Saddu az Zara’iyah, yaitu
menutup jalan yang menuju kepada kesesatan atau perbuatan terlarang.
Contoh : berjudi haram, maka mempelajari cara-cara agar mahir dalam
berjudi juga dilarang, berzina itu dosa besar dan jelas dilarang, maka
melakukan hal-hal yang bisa mengarah kepada perzinaan juga dilarang
(haram).
D. HUKUM TAKLIFI
- Pengertian Hukum Taklifi
Hukum
taklifi ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh
mukallaf (orang dewasa dan berakal sehat), atau melarang mengerjakannya,
atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya. Para ulama
ilmu fiqh membedakan hukum taklifi ke dalam lima macam, yaitu Wajib,
Haram, Sunat, Makruh dan Mubah.
Untuk dapat membedakan kelima hukum taklifi tersebut, para ulama telah menjelaskannya sebagai berikut :
a. Wajib (Al Ijab)
Menurut
bahasa, wajib berarti harus. Menurut istilah ilmu fiqh, wajib ialah
suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan mendapat dosa.
b. Haram (At Tahrim)
Menurut
bahasa berarti larangan. Menurut istilah, haram ialah suatu perbuatan
yang apabila dilaksanakan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan
mendapat pahala. Setiap orang yang beriman wajib meninggalkan hal-hal
yang diharamkan, agar tidak mendapat dosa dari apa yang dilakukannya.
Allah swt. Mengharamkan sesuatu, karena sesuatu tersebut mengandung
bahaya, kerusakan, bencana, bahkan kehancuran bagi dirinya maupun orang
lain.
c. Sunat (An Nadbu)
Menurut
bahasa, sunat berarti kebiasaan. Menurut istilah ilmu fiqh, sunat ialah
perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala, dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat dosa. Allah menyariatkan hal-hal yang
bersifat sunat ini untuk menambah amal baik kita kepada Allah swt., dan
juga untuk menyempurnakan ibadah-ibadah kita yang kurang sempurna.
d. Mubah (Al Ibaahah)
Menurut
bahasa, mubah berarti boleh. Menurut istilah, mubah yaitu suatu
perbuatan yang apabila dilaksanakan atau ditinggalkan tidak memperoleh
dosa atau pahala.
e. Makruh (al Karaahah)
Menurut
bahasa, makruh berarti tidak disenangi. Menurut istilah, makruh ialah
suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan tidak mendapat dosa dan
apabila ditinggalkan memperoleh pahala.
- Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan
hukum taklifi sangat penting sebagai pokok dalam kerangka penegakan
hukum Islam, sesuai dengan tuntutan nash. Sebab, setiap perbuatan
seorang mukallaf dalam pandangan Islam mengandung konsekuensi
mendatangkan pahala atau dosa tergantung kepada hukum perbuatan
tersebut, apakah melaksanakan perintah, melanggar aturan atau memilih
anjuran si pembuat hukum, Allah swt.
- Mempraktikan Contoh-contoh Perilaku yang Sesuai dengan Hukum Taklifi
Untuk dapat membiasakan menerapkan hukum taklifi, hendaknya kamu perhatikan terlebih dahulu beberapa hal sebagai berikut :
a. Tanamkan iman yang kuat dalam hati sanubari, sehingga tidak mudah terbawa arus sesat dalam pergaulan.
b. Tanamkan
keyakinan bahwa tugas utama manusia di muka bumi ini adalah beribadah
kepada Allah swt., berbuat baik sesama, dan senantiasa taat kepada
hukum-hukum Allah swt.
c. Tanamkan
keyakinan bahwa hukum taklifi adalah hukum Allah swt. Yang harus
dijalankan oleh setiap umat muslim yang beriman, agar dalam menjalani
kehidupannya selalu dalam kedamaian dan kebahagiaan.
d. Pahami dengan benar pengertian dan kaidah-kaidah hukum taklifi,agar kita tidak keliru atau salah mengamalkannya.
e. Niatkan ibadah karena Allah, agar dalam menerapkan hukum taklifi kita tidak keliru atau salah mengamalkannya.
f. Mulailah
menerapkan hukum taklifi sekarang juga,dari yang paling rendah dan
mudah, misalnya menjalankan hukum yang wajib seperti shalat lima waktu,
puasa di bulan Ramadhan dan sebagainya. Baru setelah terbiasa,
tingganlkan yang haram dan laksanakan anjuran atau sunnah.
E. PENGERTIAN DAN HIKMAH IBADAH, SHALAT DAN PUASA
- Pengertian Ibadah
Ibadah
berasal dari kata dasar :”Abada, Ya’budu-‘Ibadan-Wa’ibaadatan” artinya
menyembah, mengabdi, dan menghambakan diri. Menurut istilah, ibadah
ialah melakukan suatu pekerjaan tertentu yang sesuai dengan ajaran agama
dan tidak mengharapkan suatu imbalan apapun selain mengharap ridha
Allah swt.
- Pembagian Ibadah dari segi tata cara dan bentuknya
a. Ibadah murni/ritual/khusus
b. Ibadah umum/luas/mu’amalah
- Pengertian Shalat
Shalat
adalah ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu
yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan
syarat-syarat tertentu.
- Pengertian Puasa
Puasa
adalah salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang berarti menahan diri
dari segala perbuatan yang membatalkan yang dilakukan oleh mukallaf pada
siang hari, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
- Hikmah Ibadah
- Memahami
bahwa dirinya adalah makhluk Allah swt. Yang mempunyai kewajiban untuk
beribadah, menyembah, mengabdi dan menyerahkan diri kepada-Nya.
- Menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di akhirat.
- Memahami bahwa semua tujuan akhir semua aktivitasnya adalah pengabdiannya kepada Allah swt.
- Memahami bahwa dirinya adalah pusat ala mini dan kehidupannya tidak hanya menjadi pelengkap.
- Hikmah shalat
- Mendatangkan ketentraman dan ketenangan jiwa.
- Dilapangkan rizkinya dalam kehidupan.
- Terhindar dari penyakit hati dan kotoran jiwa.
- Terhapus dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil kecuali dosa syirik.
- Terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
- Hikmah puasa
- Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Bagi orang yang menjalankannya.
- Mengendalikan hawa nafsu, khususnya nafsu syetaniyah yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang kebinasaan.
- Membiasakan orang yang berpuasa bersabar dan tabah menghadapi berbagai kesukaran dan ujian.
- Mendidik jiwa agar senantiasa amanah, sebab puasa pada hakikatnya melaksanakan amanah tidak makan dan minum.
- Melatih kedisiplinan yang tinggi, sebab dalam puasa terdapat disiplin tidak makan dan minum pada waktu yang telah ditentukan.
- Meningkatkan
kesehatan, sebab dalam tenggang waktu satu tahun organ pencerna kita
diberi istirahat beberapa hari ketika melaksanakan ibadah puasa wajib
maupun sunat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar